Halaman

Selasa, 16 Oktober 2012

Kembali Fitri



kembali fitri
oleh : Wo Ai Te Mimi*

Hari ini merupakan hari yang sangat spesial untuk Ria. Di mana seorang BMI asal Lampung yang telah bekerja selama lima tahun di Hongkong ini bisa melaksanakan shalat Ied untuk yang pertama kali. Walau sebenarnya hati gemetar menyambut hari yang fitri, namun dengan senyumnya yang bersahaja Ria mampu menyembunyikan segala kegundahan yang erat mengikat di relung hatinya. Dengan mengenakan gamis putih dan kerudung warna biru, Ria melangkah anggun memasuki gerbang victoria park menuju shaf para jamaah putri yang bersiap untuk melaksanakan shalat Ied. Rasa ragu kadang bergelanyut dalam benak lantaran dosa-dosanya di masa lalu, yang hampir tiap hari mengusik ketenangan jiwanya selama enam bulan terakhir ini. Namun tekadnya yang kuat untuk bertaubat membuat langkahnya makin di percepat. "Bukankah Allah maha pengampun..." gumamnya dalam hati meyakinkan diri. Sementara kakinya terus melangkah memasuki shaf para jamaah putri.
 

Tibalah Ria pada shaf ketiga. Lalu di antara jamaah lain yang juga tengah menunggu shalat di mulai, dengan cekatan ia menggelar plastik di atas rerumputan basah sebagai alas. Makhlum saja, hujan deras yang memandaikan Hongkong semalam masih menyisakan suasana lembab dan basah, terutama pada pucuk-pucuk rerumputan yang tersebar luas tumbuh di lapangan hijau victoria park, yang kini di penuhi oleh para jamaah bermukena. "Bismillah, ya Rabb... Semoga hamba khusyuk saat memujamu." ucap Ria lirih sambil menangkupkan kedua telapak tangan di wajah, sebelum akhirnya ia dan jamaah lain hanyut dalam munajat-munajat suci dan bersujud simpuh pada Yang Maha Agung.

Diantara jamaah lain yang asyik bertakbir, Ria masih khusyuk berdoa semenjak shalat Ied usai sekitar sepuluh menit yang lalu. Nampaknya, berbagai rasa tengah berkecamuk dalam hatinya. Entah penyesalan atau kerinduan lantaran jauh dari sanak saudara. Terlihat jelas dari matanya yang sembab oleh airmata. Sementara bibhr yang terus bergetar tanpa suara menandakan rasa tertahan yang sulit untuk di ungkapkan. Hanya sesekali terdengar rintihnya memohon ampun pada Allah SWT dengan suaranya parau. "maafkan atas segala khilaf hamba ya Allah..." rintihnya pilu penuh penyesalan.

Isak tangis Ria mulai terdengar ketika telinganya sayup-sayup menangkap suara tausiyah yang di sampaikan oleh ustadz Jalal, yang mana juga menyinggung seputar kehidupan BMI di negeri beton, dan kini masih terjerumus dalam lembah kemaksiatan seperti lesbi. "Bersikaplah sesuai dengan kodrat kita masing-masing. Dan sesungguhnya Allah SWT melaknat para wanita yang berpenampilan seperti laki-laki, dan seorang laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Kecuali mereka bertaubat." terang ustadz Jalal penuh antusias, yang langsung di sambut dengan tepuk tangan meriah oleh para jamaah tanda menyepakati ucapanya.

Demi mengetahui hal itu, Ria makin tergugu di tempatnya bersimpuh. Teringat akan kenangan pahit masa lalu ketika seluruh teman memanggilnya dengan nama Rio lantaran ia seorang lesbi. Menyesal? Enggak. Bahkan Ria sangat bangga mendapat nama baru sebagai Rio kala itu. Tapi kini ia menyesali semua itu, menyesali saat-saat di mana ia menghabiskan hampir seluruh hari liburnya hanya untuk bersenang-senang di Galaxy. Suatu tempat di mana ia bebas berjoget ria di bawah gemerlipnya lampu diskotik bersama maya, kekasihnya yang tentu berjenis kelamin sama.

Sejak saat itu Rio yang berperan sebagai cowok menjadi sangat liar. Bukan hanya miras yang ia cicipi, bahkan pil ekstasi pun tak jarang ia nikmati. Sebelumnya memang ia menolak saat pertama kali di tawari barang haram tersebut oleh Maya. Namun demikian, Maya yang telah menginjakkan kaki selama sepuluh tahun di Hongkong, dan sudah delapan tahun menjadi lesbi itu terus membujuk tiada henti. "ayolah, sayang... Cobalah barang ini, Kamu pasti akan merasakan kebahagiaan yang belum pernah kau rasa sebelumnya." bujuk Maya kala itu dengan suara khasnya serak-serak basah, sambil menyodorkan 2 butir pil ekstasi pada Rio. Sementara Rio yang saat itu baru saja tiga bulan dan masih tergolong baru dalam dunia lesbi, akhirnya tergiur juga oleh bujukan Maya. Apa lagi saat itu cuma Maya satu-satunya orang yang paling ia cintai lantaran maya selalu hadir dan mengisi hari-harinya, sehingga ia terjauh dari rasa jenuh dan kesendirian. Bukan hanya itu, bahkan kebutuhan biologispun bisa ia dapatkan dari maya. Dan jelas saja hal itu membuatnya tak dapat hidup tanpa maya, kekasihnya.

"aaa..." teriakan histeris Ria memecah, membelah tiap jeda tempat pada barisan para jamaah, yang sontak menyedot perhatian mereka kearahnya. Sepertinya penyesalan akan kehidupannya dulu benar-benar membuat ia lost control. Kedua tangannya nampak kuat meremas sajadah, tempat di mana ia tersungkur dan menangis pilu di tempat umum, di antara para jamaah di hari yang fitri. Dengan keadaan Ria yang demikian, tentu saja mengundang rasa iba bagi siapapun yang menyaksikan, termsuk mbak Nana. Salah satu jamaah yang duduk tepat di sebelah Ria ini bergegas meraih tubuh Ria dan mencoba untuk menenangkannya ke dalam peluk kasih layaknya seorang ibu. "tenang, nduk... Istighfar," tutur perempuan paruh baya itu lembut dan mengelus rambut Ria yang terbalut kerudung biru.

Ria terus terisak. Masih jelas terlihat gambaran masa lalunya ketika pertama kali ia mendengar kabar tentang perselingkuhan antara Maya, kekasih hatinya dengan seorang lesbi yang ia kenal dari Maya pula sekitar 2tahun yang lalu, Boy. Tak pernah terpikirkan jika mereka akan menikamnya diam-diam. Padahal selama ini hubungannya dengan Maya berjalan baik-baik saja. Sementara si Boy juga di kenalnya sebagai teman yang baik juga. "maaf, Rio... Aku baru berani jujur sekarang, setelah Maya dan Boy pulang ke indonesia sejak seminggu yang lalu." ungkap Ernes via telepon kala itu. Salah satu teman akrab Maya pun mengungkapkan perselingkuhan itu setelah di paksa oleh Rio untuk bercerita dan memberi tahu keberadan Maya yang tiba-tiba menghilang satu minggu terakhir ini. Padahal sebelumnya hampir tiap hari Maya menghubungi Rio. Tapi sejak seminggu terakhir ini tak pernah ada lagi nomornya yang masuk. Bahkan nomor teleponenya sudah tak aktif lagi ketika di hubungi.

"kenapa kamu gak kasih tau aku sejak dulu, hah?" tanya Rio kesal dan mendesak. Ia syok saat mengetahui Maya dan Boy pulang ke tanah air tanpa sepengetahuannya. "aku takut, Rio. Dulu Maya mengancam akan melaporkanku ke polisi jika sampai membeberkan rahasianya, lantaran aku yang over stay. Sedangkan kamu sendiri juga tau kalau Maya itu nekad." jelas Ernes membela diri. Rio terdiam... Membiarkan teleponya menggantung. Remuklah sudah hati Rio kala itu. Tak tau lagi apa yang hendak di lakukan setelah sang penambat hatipun lenyap dari hidupnya. Padahal selama ini dia sudah berusaha mati-matian agar hubungannya tetap terjaga. Bukan hanya uang yang telah ia korbankan, bahkan satu-satunya mahkota paling berharga yang ia punyai pun di serahkan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, demi melihat senyum kekasihnya itu. Tapi semua sia-sia, dan Maya hanya menganggap semua itu angin lalu dan gak penting sama sekali.

Rio mulai gelap mata. Tubuhnya menggigil menahan segala rasa yang berjejal di hatinya. Namun begitu ia enggan menangis, Airmatanya tetap erat terbendung. Karena baginya sangat pantang jika seorang Rio harus menangis dan meratapi kehidupan yang penuh dengan kekerasan, "Lakukanlah sesuatu sampai akhir tanpa di iringi dengan isak tangis" Demikianlah kata hatinya. Yang memang telah membeku karena keangkuhannya lantaran bangga menjadi seorang lesbi.

"aku ingin mati," hanya kata itu yang ada dalam benak dan hatinya, hingga tiba-tiba di rasa seseorang menarik tubuhnya hingga terhempas di lantai, saat mendapatinya hendak terjun melalui jendela dari lantai 20, di tempat ia bekerja. "ada apa ini? Apa kamu mau mati? Kalau mau mati jangan disini. Pergi dan tuntaskan dulu urusanmu dengan ku, baru kamu bisa mati dengan tenang." umpat majikannya bersungut, yang tiba-tiba pulang membuka pintu sendiri tanpa sepengetahuan Rio, dan mendapati Rio dengan satu kakinya sudah tergantung keluar jendela. Padahal biasanya sang majikan selalu mencet bel dulu.

Sementara Rio hanya terdiam. Tak menghiraukan omelan majikan yang geram dan ketakutan. Bahkan ia tak berontak sedikitpun ketika di pulangkan ke agen saat itu juga. Seperti orang linglung, mulutnya terkunci tak tertarik merespon tiap pertanyaan-pertanyaan yang di lempar oleh majikan maupun agency yang amarahnya mulai membuncah. Cuma nampak sesekali ia mendengus lesu. 

*******
Jam 4 dini hari ketika Rio terbangun oleh suara salah satu temannya melantunkan ayat-ayat suci Al-quran di boarding house. Teman yang sesama BMI itu melantunkan ayat-ayat suci dengan merdunya sehingga membuat Rio berasa nyaman dan tentram di antara dingin angin winter yang tajam menusuk tulang rusuk. Nampaknya setitik cahaya hidayah telah menyinggahi ruang hatinya, sehingga ia tersadar bahwa selama ini telah melupakan satu hal, Tuhan. Kemudian dengan serta merta matanya memicing melawan rasa kantuk dan beranjak mendekati temannya yang masih asyik bersenandung. "mbak, maukah mbak ngajarin aku ngaji?" celetuk Rio, yang spontan membuat temanny tersebut terhenti bersenandung. "dengan senang hati," jawabnya singkat sambil tersenyum menoleh Rio. Senyum yang teduh, teduh sekali. Sejak saat itulah Rio mulai berhijab dan mengubur segala masa lalunya. Nama Rio telah terganti lagi dengan Ria, yang merupakan nama asli hadiah pertama dari orang tuanya.

***
"sabar, sayang... Allah pasti memaafkan segala khilafmu." tutur mbak Nana lembut. Jam menunjuk pukul 11.00. Tak terasa hari beranjak siang. Sebagian para jamaah sudah bubar meninggalkan tempat. Sementara Ria masih memasrahkan dirinya dalam dekapan perempuan paruh baya tersebut. Membiarkan angin kedamaian menelusup ke dalam rerung hati keduanya. Dengan sisa isak tangisnya, ia hanya mampu berucap "terima kasih" untuk seseorang yang rela menjadi sandarannya saat ini.
The end


*tengah bekerja dan menyelesaikan Study di Hokong

2 komentar: