Desah
dedaunan mengusik kesunyian. Malam ini begitu kelam, tak satupun cahaya yang
sudi menerangi. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang mengiringki
langkahku. Aku terpaksa jalan kaki untuk menemui Bahar di pinggir sungai dekat
makam mbah parjo yang terkenal angker itu. makam itu ditaruh sendirian dekat
sungai itu. menurut para sesepuh desa mbah parjo sendirilah yang meminta untuk
dikubur di pinggir sungai dekat gubuk tempat biasa ia istrahat siang setelah
meladang. Dan kini aku dengan terpaksa harus menemui cecenguk satu yang ulah
apalagi yang mau dilakukan.
aku tak
lagi heren dengan kelakuan Bahar, bukan sekali ini aja ia melakukan hal – hal
aneh. Sebelumnya, ia pernah tidur dekat kuburan mbak Warti yang mati gantung
diri tepat sehari sebelum perjodohannya dengan mandor tebuh di kampungku. Dan
secara kebetulan matinya pada hari jum’at kliwon. Menurut mitos yang ukuran
kebenarannya masih abstrak. setiap orang yang tidur selama 7 hari tujuh malam
di pekuburan orang yang matinya pada hari Jum’at kliwon mampu meningkatkan
kadigjayaan. Apalagi mbak Warti adalah gadis kembang yang belum pernah
bersetubuh. Ini akan menambah keistimewaan dari makam tersebut. Tak hayal jika
Bahar begitu antusias dan merelakan tubuhnya dimakan dingin hanya untuk
mendapatkan Kesaktian yang abstrak itu. “lihat saja, aku akan mempan kalau di
sayat oleh silat tajam sekalipun” selorohnya waktu itu. Namun sejauh ini aku
belum pernah melihat Bahar memperagakan kedigjayaan itu.
Aku paham
kenapa Bahar begitu tertarik dengan dunia Goib yang berkaitan dengan kesaktian.
Sejak kecil bahar selalu menjadi anak bawang dalam setiap permainan. Ia tak
pernah menjadi orang inti dalam kelompok – kelompok permainan. Bahkan ketika
teman – temannya berniat pergi ketengah hutan untuk berburuh burung bahar
dilarang ikut kerena menurut kawan – kawannya ia masih terlalu penakut dan akan
merepotkan jika minta diantar pulang. Dan itu membuat Bahar mendendam Hingga
kini.
Sebetulnya
bahar adalah anak penurut dan alim. Aku bersama dia sering mengikuti pengajian
Haji Husin di langgar. Ia juga sering interaksi dengan haji Husin mengenai
syariat ataupun baik – buruknya kehidupan.
Aku masih ingat. waktu itu, hujan sangat lebat
dipelataran sekolah. aku duduk di kelas dua SMP. Halaman sekolahku masih belum
pavingan, becek jika hujannnya terlampau lebat. Di depan kelas ada lapangan
tempat kami sering permain bola atau sekedar lari –larian. Dinding – dingin
kelas mulai mengelupas hingga terlihat batu bata di sana – sini, entah sejak
kapan gedung ini dibangaun. Atapnya masih dari esbes, jiaka musim hujan
suaranya sangat menggangu pendengaran. Guru yang menerangkanpun hanya seperti
orang pantomime
Siang itu
suasana kelas kami sangat gaduh. Seiring dengan riuhnya air hujan. Musim huajan
seperti ini memang sering kali kelas tak ada yang mengajar, karenakan SMP kami
terletak jauh di tengah kebun Tebu. guru kami meninggalkan kewajibannya entah
karena takut basah atau memang malas. Bahar duduk santai di belakang
menyandarkan tubuhnya di tembok yang lembab. Sementara teman – teman asyik dengan
gurauannya, aku hanya melihat dari bangkuku sambil sesekali memperhatikan Bahar
yang murung sejak tadi.
“Bahar…
kenapa kau diam saja?” Ateng berteriak.
“iya Bahar,
muka mu yang jelek… makin kelihatan jeleknya.” Celetuk Mahmud dan diikuti gelak
tawa dari teman laki – laki. Bahar masih diam saja,. Lalu dilanjutkan beberapa
teman yang menimpali ejekan – ejekan. Bahar pun tak lagi bisa menahan
kesabarannya. Ia berdiri dari bangkunya segera mendekati Mahmud dan
menantangnya berkelahi. Mahmud yang bertubuh jangkung melebih usianya itu tertawa
terbahak – bahak.
“sejak
kapan kau berani berkelahi, Baha. kau saja masih sering ngompol. Hahahaha”
Mahmud terus mengejek Bahar.
“sejak hari
ini, kenapa. kau takut kalah berkelahi denganku!” ucap Bahar dengan muka
memarah.
“hahahaha.
Oke kalau itu maumu.”
PLAAAK.
Satu bogem
disarangkan ke muka Bahar. Mahmud mendorong kasar Bahar keluar, aku dan teman –
teman serentak mengikuti dari belakang. Sementara itu ditengah hujan lebat aku
melihat dengan samar – samar dua remaja saling baku hantam. Beberapa kali aku
melihat Bahar jatuh tersungkur ke tanah. di genangan air hujan itu Mahmud
dengan tubuh kekarnya terus menghujami Bogem mentah ke Wajah Bahar. Melihat
lawannya tak berdaya Mahmud kemudian berdiri dan ketawa kecil, seolah ia
berkata “ini Mahmud Pria Perkasa di sekolahan ini.” Sambil berlalu Mahmud
menendang tubuh Bahar yang telah merengkuh itu.
Hari itu
sebagai penanda betapa akumulasi kekalahan – kekalahan yang selama ini dialami
Bahar harus ditebus tuntas dengan kemenangan. Bahar semakin menyendiri, ia tak
lagi mau berangkat ke pengajiannya Haji Husin. Bahar mengikuti perguruan
beladiri manunggal Sejati. Di sekolahan Bahar menjadi pemarah. Namun jika
padaku ia sering berkata “kau satu – satunya teman yang tidak punya salah
padaku. Lainnya akan aku habisi.” Ucap Bahan. Aku tak paham maksud bahar dengan
akan menghabisi teman – temannya.
***
“Bahar…
Bahar… kau di mana bahar. Ini aku Nakula.” Suaraku menggema di pematang sawah
yang gelap dan dingin itu. Cahaya rembulan yang tertutup mendung menambah
mistis tempat ini. Mataku menyisir kearah penjuru. Aku lempar cahaya senter
sejauh – jauhnya namun aku belum menamukan batang hidung Bahar.
Daerah ini
banar – benar wingit, pantas saja tak ada oaring yang berani berkeliaran sendirian
di tempat ini malam hari. Pohon beringin dekat makam mbak parjo akarnya
menjuntai kemana – mana, daun – daunya menutupi tanah dan membuat kotor di
sekitar area kuburan, senter ku pegang erat sambil kuarakan sig sag, waspada
jika ada sesuatu.
Klek
“Bahar.”
Tak ada jawaban. Ah barangkali kucing atau tidku, Pikirku. Rasa penasaranku
terus menuntunku melewati area pemakaman mbah parjo. Aroma kembang kamboja dan
kemenyan menyengat hidung. Memang tempat ini menjadi tempat foforit orang –
oaring yang kepingin jalan pintas menuju kaya atau sekedar mepati Uni (janji).
Jantungku berdekup dengan kencang. “bahar apa mengapa kau memilih tempat wingit
seperti ini untuk ketemian sih… tak ada tempat lain apa.” Gerutuku.
Aku
penasaran karena yang mendapat pesan dari Bahar bukan aku saja. Seminggu yang
lalu kata orang Ateng pergi menemui Bahar tapi tak kembali, tiga hari yang lalu
Bahrul, hari ini aku dan Mahmud yang diberi pesan singkat melalui surat kaleng
yang dititpkan Nai kemarin sore. Namun sejak tadi sore aku tak melihat Mahmud
di Langgar.
Dengan rasa
cemas aku telah sampai di bibir tebing sungai. sekali lagi aku sisir dengan
senter yang ada di tanganku tapi masih tak kudapati Bahar di sana. Kemudian aku
turuni tebing dengan anak tangga yang terbuat dari bamboo itu dengan hati –
hati. Tempat ini bekas benambangan batu dan pasir namun sudah lama di
tinggalkan sejak ada pelarangan dari Pemdes.
Sungai ini
di dominasi oleh batu batu besar, airnya tak terlalau dalam. Mungkin ini akibat
penambangan galian C di desa atas hingga menurangi debit air sungai. Mataku
terus focus mencari keberadaan Bahar. Ini seperti memacakan misteri yang ada di
komik – komik dektektif. Ada teka – teki yang perlu diungkap. Mengapa, ada apa.
Ku lompati
beberapa batu besar yang menghalangi langkahku. Aku terperanjat melihat tulisan
besar yang ada di batu paling besar. “Ateng telah ku habisi.” Apa maksud
tulisan itu. Lama kau terdiam tak mengrti pa yang telah terjadi dan apa
hubungannya dengan Bahar. Angin menerpa bamboo yang banyak tumbuh dipinggiran
tebing sungai, suaranya menyat telingahku. Ada kesan misterius dengan suara gesekkan
patang bamboo dan suara dedaunan. Dingin. Dan juga menakutkan.
Tak lama
ada sosok banyangan dari balik batu besar membawa oncor di tangan kanannya. Bayangan
itu dimataku tak asing lagi, laki – laki bertubuh kurus, dengan matanya agak
menjorok ke dalam dan rambut ikal itu yang membedahkan ia dengan teman –
temanku yang lain. Bahar.
“bahar….
Kau kah itu?” aku mencoba memastikan.
Banyangan
itu masih tetap berdiri Menghadap kebelakang. tangan kanannya memegang obor dan
yang kiri memegang belati. Apakah ia telah membunuh Eteng, lalu dimana Barul
dan Mahmud. Apakah merak juga telah dihabisi. Sepertiyang pernah Bahar bilang
dulu. Daraku mendesir, urat nadiku mengencang. Sebenarnya apa yang telah
dilakukan Bahar.
dengan
pakaian serba hitam cirri khas pakian peguruan bela diri yang ia ikuti, bahar
keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan ke arahku dan berdiri di atas batu
besar di sebrang tempatku berdiri yang di batasi aliran sungai. Kami saling
beradu pandang. Matanya begitu menyalah ada dendam yang begitu kuat. Aku belum
berani berucap. Aku hanya memandanginya penuh dengan Tanya. Mengapa, ada apa.
“sebenarnya
ada, Bahar! Teka – teki apa yang ingi kau buat?”
“aku tak
inginmembuat teka – teki kawan, tak ingin.” Suara Bahar parau.
“lalu simua
ini?”
“Ini adalah
janji yang ahrus aku tepati, Nakula”. Jawab Bahar.
“Janji.
Janji apa yang kau maksud, Bahar? Di mana Ateng, Barul dan Mahmud. Kau apakan
mereka?”.
Ateng tak
menjawab ia hanya tersenyum kecut. Bahar menoleh ke kanan. Tiga laki – laki yang
sering mengejek Bahar di kelas ataupun di kampong kini kaku tak bernyawa. Tubuh
meraka diikat ke sebuah tiang yang terbuat dari bamboo. Dengan senter yang
kupegang ku lihat tubuh Mahmud penuh dengan sayatan, darah mengalir di sekujur tubuhnya. Begitu pulah dengan tubuh Ateng dan Barul tak
kalah mengenaskan, leher terputus. Sungguh orang yang melakukakn ini adalah
seorang yang tak lagi mempunyai belas kasih. Namun aku tak percaya jika semua
ini Bahar yang melakukan. Seorang anak laki – laki berusia 16 tahun mempunyai
ide gila pembunuhan yang sadis dan kejam.
“setan apa
yang telah merasiki hatimu… Bahar!” perasanku kacau antara percaya dan tidak.
“setan…
bukan setang yang merasuki aku, Nakula. Bukan. Malaikat yang telah mengutusku
untuk mengabisi tiga brandal ini.” Bahar manjawab lantang.
“kanapa,
Bahar? Dasa apa yang telah merak perbuat. Hingga kau tegah menghukumnya seperti
itu. Ingat allah, Bahar. Apa yang telah kau perbuat ini akan melukai semua
orang yang menyayangimu.”
“Nakula”
bahar terisak, seakan menahan tangisan mebuat suaranya serak parau.
“aku selama
ini menanggung malu, menangung ejekkan, menanggung semua perlakuan meraka yang
kejam kepadaku. Kau anggap mereka tak punya dosa. Aku mendarita, Nakula.
Mendarita.” Tambahnya.
Mega subuh
telah membara di ufuk timur. Sayup – sayup saura adzan berkumandang. Aku dan
bahar masih saling berhadapan. Entah kata apalagi untuk mencairkan amarah
Bahar. Menyadarkan tentang semua yang telah ia berbuat itu merupakan tidakan
melawan hokum. Namun niatanya begitu kuat. Ia bahar dengan mata cekungnya itu
menunjukan daftar nama – nama orang yang akan ia habisi. Ini benar – benar
gila. Diluar nalar seorang remaja pada umumnya.
“ lalu
untuk apa semua ini kau tunjukkan padaku?”
“aku hanya
ingin kau menjadi saksi betapa kuatnya aku. Aku tak lagi Bahar yang cengeng
atau anak bawang. Bahar sekarang adalah bahar yang sakti mantra guna.”
“jangan
bergerak!!” tiba – tiba suara itu mengema.
satu kompi
polisi tiba menyergap di segala penjuru sungai. Bahar gugup. Dengan refelak ia
melompat ke sisi kanan batu besar tempat ia berdiri. Samar – samar aku
melihatny memandang kea rah ku. Seperti ia akan mengeucapkan terima kasih karena
telah dating.
Bahar lari
di selah – selah batu, polisidengan perlengkapan sergap malam mengacung –
acungkan senjatanya yang di lengkapi senter itu. Tubuhku gemetaran. Perasaanku
cemas akan keselamatan Bahar. Dalam hati aku terus berdo’a biarpun tertangkap,
Bahar harus selamat.
“Doorrrrr”
suara tembakan peringatan. Menetrahkalah Bahar. Kau akan selamat dan mengawali
hidup baru. Gerutuku.
“Dorrrrrr”.
Tepat di jantung Bahar, peluru laras pajang itu bersarang.
Tuntas
sudah petualangan Bahar. Anak abang yang selalu menjadi ejekan teman – tamannya
mati dipelukan makam mbah Parjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar