Halaman

Senin, 08 Oktober 2012

BAHAR


Desah dedaunan mengusik kesunyian. Malam ini begitu kelam, tak satupun cahaya yang sudi menerangi. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang mengiringki langkahku. Aku terpaksa jalan kaki untuk menemui Bahar di pinggir sungai dekat makam mbah parjo yang terkenal angker itu. makam itu ditaruh sendirian dekat sungai itu. menurut para sesepuh desa mbah parjo sendirilah yang meminta untuk dikubur di pinggir sungai dekat gubuk tempat biasa ia istrahat siang setelah meladang. Dan kini aku dengan terpaksa harus menemui cecenguk satu yang ulah apalagi yang mau dilakukan.


aku tak lagi heren dengan kelakuan Bahar, bukan sekali ini aja ia melakukan hal – hal aneh. Sebelumnya, ia pernah tidur dekat kuburan mbak Warti yang mati gantung diri tepat sehari sebelum perjodohannya dengan mandor tebuh di kampungku. Dan secara kebetulan matinya pada hari jum’at kliwon. Menurut mitos yang ukuran kebenarannya masih abstrak. setiap orang yang tidur selama 7 hari tujuh malam di pekuburan orang yang matinya pada hari Jum’at kliwon mampu meningkatkan kadigjayaan. Apalagi mbak Warti adalah gadis kembang yang belum pernah bersetubuh. Ini akan menambah keistimewaan dari makam tersebut. Tak hayal jika Bahar begitu antusias dan merelakan tubuhnya dimakan dingin hanya untuk mendapatkan Kesaktian yang abstrak itu. “lihat saja, aku akan mempan kalau di sayat oleh silat tajam sekalipun” selorohnya waktu itu. Namun sejauh ini aku belum pernah melihat Bahar memperagakan kedigjayaan itu.

Aku paham kenapa Bahar begitu tertarik dengan dunia Goib yang berkaitan dengan kesaktian. Sejak kecil bahar selalu menjadi anak bawang dalam setiap permainan. Ia tak pernah menjadi orang inti dalam kelompok – kelompok permainan. Bahkan ketika teman – temannya berniat pergi ketengah hutan untuk berburuh burung bahar dilarang ikut kerena menurut kawan – kawannya ia masih terlalu penakut dan akan merepotkan jika minta diantar pulang. Dan itu membuat Bahar mendendam Hingga kini.

Sebetulnya bahar adalah anak penurut dan alim. Aku bersama dia sering mengikuti pengajian Haji Husin di langgar. Ia juga sering interaksi dengan haji Husin mengenai syariat ataupun baik – buruknya kehidupan.

 Aku masih ingat. waktu itu, hujan sangat lebat dipelataran sekolah. aku duduk di kelas dua SMP. Halaman sekolahku masih belum pavingan, becek jika hujannnya terlampau lebat. Di depan kelas ada lapangan tempat kami sering permain bola atau sekedar lari –larian. Dinding – dingin kelas mulai mengelupas hingga terlihat batu bata di sana – sini, entah sejak kapan gedung ini dibangaun. Atapnya masih dari esbes, jiaka musim hujan suaranya sangat menggangu pendengaran. Guru yang menerangkanpun hanya seperti orang pantomime

Siang itu suasana kelas kami sangat gaduh. Seiring dengan riuhnya air hujan. Musim huajan seperti ini memang sering kali kelas tak ada yang mengajar, karenakan SMP kami terletak jauh di tengah kebun Tebu. guru kami meninggalkan kewajibannya entah karena takut basah atau memang malas. Bahar duduk santai di belakang menyandarkan tubuhnya di tembok yang lembab. Sementara teman – teman asyik dengan gurauannya, aku hanya melihat dari bangkuku sambil sesekali memperhatikan Bahar yang murung sejak tadi.
“Bahar… kenapa kau diam saja?” Ateng berteriak.
“iya Bahar, muka mu yang jelek… makin kelihatan jeleknya.” Celetuk Mahmud dan diikuti gelak tawa dari teman laki – laki. Bahar masih diam saja,. Lalu dilanjutkan beberapa teman yang menimpali ejekan – ejekan. Bahar pun tak lagi bisa menahan kesabarannya. Ia berdiri dari bangkunya segera mendekati Mahmud dan menantangnya berkelahi. Mahmud yang bertubuh jangkung melebih usianya itu tertawa terbahak – bahak.
“sejak kapan kau berani berkelahi, Baha. kau saja masih sering ngompol. Hahahaha” Mahmud terus mengejek Bahar.
“sejak hari ini, kenapa. kau takut kalah berkelahi denganku!” ucap Bahar dengan muka memarah.
“hahahaha. Oke kalau itu maumu.”
PLAAAK.
Satu bogem disarangkan ke muka Bahar. Mahmud mendorong kasar Bahar keluar, aku dan teman – teman serentak mengikuti dari belakang. Sementara itu ditengah hujan lebat aku melihat dengan samar – samar dua remaja saling baku hantam. Beberapa kali aku melihat Bahar jatuh tersungkur ke tanah. di genangan air hujan itu Mahmud dengan tubuh kekarnya terus menghujami Bogem mentah ke Wajah Bahar. Melihat lawannya tak berdaya Mahmud kemudian berdiri dan ketawa kecil, seolah ia berkata “ini Mahmud Pria Perkasa di sekolahan ini.” Sambil berlalu Mahmud menendang tubuh Bahar yang telah merengkuh itu.
Hari itu sebagai penanda betapa akumulasi kekalahan – kekalahan yang selama ini dialami Bahar harus ditebus tuntas dengan kemenangan. Bahar semakin menyendiri, ia tak lagi mau berangkat ke pengajiannya Haji Husin. Bahar mengikuti perguruan beladiri manunggal Sejati. Di sekolahan Bahar menjadi pemarah. Namun jika padaku ia sering berkata “kau satu – satunya teman yang tidak punya salah padaku. Lainnya akan aku habisi.” Ucap Bahan. Aku tak paham maksud bahar dengan akan menghabisi teman – temannya.
***
“Bahar… Bahar… kau di mana bahar. Ini aku Nakula.” Suaraku menggema di pematang sawah yang gelap dan dingin itu. Cahaya rembulan yang tertutup mendung menambah mistis tempat ini. Mataku menyisir kearah penjuru. Aku lempar cahaya senter sejauh – jauhnya namun aku belum menamukan batang hidung Bahar.
Daerah ini banar – benar wingit, pantas saja tak ada oaring yang berani berkeliaran sendirian di tempat ini malam hari. Pohon beringin dekat makam mbak parjo akarnya menjuntai kemana – mana, daun – daunya menutupi tanah dan membuat kotor di sekitar area kuburan, senter ku pegang erat sambil kuarakan sig sag, waspada jika ada sesuatu.
Klek
“Bahar.” Tak ada jawaban. Ah barangkali kucing atau tidku, Pikirku. Rasa penasaranku terus menuntunku melewati area pemakaman mbah parjo. Aroma kembang kamboja dan kemenyan menyengat hidung. Memang tempat ini menjadi tempat foforit orang – oaring yang kepingin jalan pintas menuju kaya atau sekedar mepati Uni (janji). Jantungku berdekup dengan kencang. “bahar apa mengapa kau memilih tempat wingit seperti ini untuk ketemian sih… tak ada tempat lain apa.” Gerutuku.

Aku penasaran karena yang mendapat pesan dari Bahar bukan aku saja. Seminggu yang lalu kata orang Ateng pergi menemui Bahar tapi tak kembali, tiga hari yang lalu Bahrul, hari ini aku dan Mahmud yang diberi pesan singkat melalui surat kaleng yang dititpkan Nai kemarin sore. Namun sejak tadi sore aku tak melihat Mahmud di Langgar. 

Dengan rasa cemas aku telah sampai di bibir tebing sungai. sekali lagi aku sisir dengan senter yang ada di tanganku tapi masih tak kudapati Bahar di sana. Kemudian aku turuni tebing dengan anak tangga yang terbuat dari bamboo itu dengan hati – hati. Tempat ini bekas benambangan batu dan pasir namun sudah lama di tinggalkan sejak ada pelarangan dari Pemdes.

Sungai ini di dominasi oleh batu batu besar, airnya tak terlalau dalam. Mungkin ini akibat penambangan galian C di desa atas hingga menurangi debit air sungai. Mataku terus focus mencari keberadaan Bahar. Ini seperti memacakan misteri yang ada di komik – komik dektektif. Ada teka – teki yang perlu diungkap. Mengapa, ada apa.

Ku lompati beberapa batu besar yang menghalangi langkahku. Aku terperanjat melihat tulisan besar yang ada di batu paling besar. “Ateng telah ku habisi.” Apa maksud tulisan itu. Lama kau terdiam tak mengrti pa yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan Bahar. Angin menerpa bamboo yang banyak tumbuh dipinggiran tebing sungai, suaranya menyat telingahku. Ada kesan misterius dengan suara gesekkan patang bamboo dan suara dedaunan. Dingin. Dan juga menakutkan.
Tak lama ada sosok banyangan dari balik batu besar membawa oncor di tangan kanannya. Bayangan itu dimataku tak asing lagi, laki – laki bertubuh kurus, dengan matanya agak menjorok ke dalam dan rambut ikal itu yang membedahkan ia dengan teman – temanku yang lain. Bahar.
“bahar…. Kau kah itu?” aku mencoba memastikan.
Banyangan itu masih tetap berdiri Menghadap kebelakang. tangan kanannya memegang obor dan yang kiri memegang belati. Apakah ia telah membunuh Eteng, lalu dimana Barul dan Mahmud. Apakah merak juga telah dihabisi. Sepertiyang pernah Bahar bilang dulu. Daraku mendesir, urat nadiku mengencang. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Bahar.
dengan pakaian serba hitam cirri khas pakian peguruan bela diri yang ia ikuti, bahar keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan ke arahku dan berdiri di atas batu besar di sebrang tempatku berdiri yang di batasi aliran sungai. Kami saling beradu pandang. Matanya begitu menyalah ada dendam yang begitu kuat. Aku belum berani berucap. Aku hanya memandanginya penuh dengan Tanya. Mengapa, ada apa.
“sebenarnya ada, Bahar! Teka – teki apa yang ingi kau buat?”
“aku tak inginmembuat teka – teki kawan, tak ingin.” Suara Bahar parau.
“lalu simua ini?”
“Ini adalah janji yang ahrus aku tepati, Nakula”. Jawab Bahar.
“Janji. Janji apa yang kau maksud, Bahar? Di mana Ateng, Barul dan Mahmud. Kau apakan mereka?”.
Ateng tak menjawab ia hanya tersenyum kecut. Bahar menoleh ke kanan. Tiga laki – laki yang sering mengejek Bahar di kelas ataupun di kampong kini kaku tak bernyawa. Tubuh meraka diikat ke sebuah tiang yang terbuat dari bamboo. Dengan senter yang kupegang ku lihat tubuh Mahmud penuh dengan sayatan, darah  mengalir di sekujur tubuhnya.  Begitu pulah dengan tubuh Ateng dan Barul tak kalah mengenaskan, leher terputus. Sungguh orang yang melakukakn ini adalah seorang yang tak lagi mempunyai belas kasih. Namun aku tak percaya jika semua ini Bahar yang melakukan. Seorang anak laki – laki berusia 16 tahun mempunyai ide gila pembunuhan yang sadis dan kejam.
“setan apa yang telah merasiki hatimu… Bahar!” perasanku kacau antara percaya dan tidak.
“setan… bukan setang yang merasuki aku, Nakula. Bukan. Malaikat yang telah mengutusku untuk mengabisi tiga brandal ini.” Bahar manjawab lantang.
“kanapa, Bahar? Dasa apa yang telah merak perbuat. Hingga kau tegah menghukumnya seperti itu. Ingat allah, Bahar. Apa yang telah kau perbuat ini akan melukai semua orang yang menyayangimu.”
“Nakula” bahar terisak, seakan menahan tangisan mebuat suaranya serak parau.
“aku selama ini menanggung malu, menangung ejekkan, menanggung semua perlakuan meraka yang kejam kepadaku. Kau anggap mereka tak punya dosa. Aku mendarita, Nakula. Mendarita.” Tambahnya.
Mega subuh telah membara di ufuk timur. Sayup – sayup saura adzan berkumandang. Aku dan bahar masih saling berhadapan. Entah kata apalagi untuk mencairkan amarah Bahar. Menyadarkan tentang semua yang telah ia berbuat itu merupakan tidakan melawan hokum. Namun niatanya begitu kuat. Ia bahar dengan mata cekungnya itu menunjukan daftar nama – nama orang yang akan ia habisi. Ini benar – benar gila. Diluar nalar seorang remaja pada umumnya.
“ lalu untuk apa semua ini kau tunjukkan padaku?”
“aku hanya ingin kau menjadi saksi betapa kuatnya aku. Aku tak lagi Bahar yang cengeng atau anak bawang. Bahar sekarang adalah bahar yang sakti mantra guna.”
“jangan bergerak!!” tiba – tiba suara itu mengema.
satu kompi polisi tiba menyergap di segala penjuru sungai. Bahar gugup. Dengan refelak ia melompat ke sisi kanan batu besar tempat ia berdiri. Samar – samar aku melihatny memandang kea rah ku. Seperti ia akan mengeucapkan terima kasih karena telah dating.
Bahar lari di selah – selah batu, polisidengan perlengkapan sergap malam mengacung – acungkan senjatanya yang di lengkapi senter itu. Tubuhku gemetaran. Perasaanku cemas akan keselamatan Bahar. Dalam hati aku terus berdo’a biarpun tertangkap, Bahar harus selamat.
“Doorrrrr” suara tembakan peringatan. Menetrahkalah Bahar. Kau akan selamat dan mengawali hidup baru. Gerutuku.
“Dorrrrrr”. Tepat di jantung Bahar, peluru laras pajang itu bersarang.
Tuntas sudah petualangan Bahar. Anak abang yang selalu menjadi ejekan teman – tamannya mati dipelukan makam mbah Parjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar