Halaman

Kamis, 27 September 2012

NEVER SAY GOOD BYE



Malam yang buntu.
Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan dari pohon Akasia di penghujung jalan. Sang rembulan enggan hadir malam ini, begitupun dengan para bintang yang berkelip malu-malu, awan mendung yang berarak membalutkan selimut dingin pada semesta. Gelap, juga hening. Sejalan dengan keheningan sepasang insan yang sedari awal saling berdialog dengan tatapan matanya yang terasa sepi.

Baca Selanjutnya 
“Kamu tak pernah mencintaiku,” Suara Riri memecehkan keheningan malam tiba-tiba.
“Di benakmu masih ada sisa coretan-coretan kenangan yang melukis sosok-sosok masa lalumu yang enggan kamu hapus.” Lanjut Riri lagi dengan suara gemetar.
Ada rasa sesak di dalam dada mereka yang bergelayut dan saling kalut. Semuanya membingkai rasa yang terangkum di pucuk-pucuk pertikaian hati. Aku memahaminya dari sini.
“Aku tak pernah memaksamu masuk ataupun keluar dari relung hati ini,” ungkap Maisya lirih, sembari memberanikan diri menatap mata Riri yang sayu, penuh luka, penuh harap.  “Tapi aku bangga mengenal pejuang cintamu.” tandas Maisya lagi.
Maisya tersenyum selaksa diiris perih karena telah menggores pilihan yang tak bisa diulang kembali.
“Percuma…,”
Kata-kata itu semakin membuatnya sakit dan tersudut dalam kesesekan dada. Ia terluka.
Waktu seakan terhenti menanti percakapan dua insan yang saling kukuh pada prinsipnya masing–masing. Riri tak mau meninggalkan Maisya. Namun ia juga tak ingin Maisya membawa bayangan masa lalunya.
Maisya tak mampu memungkiri bahwa segenggam cintanya masih tertinggal di sana dan sekarang sedang menyemai rindu.
“Maaf, tapi telah aku tutup lembaran itu. Dan kini hanya ada satu tinta dan selembar kertas, sedianya untuk melukismu. Kembalilah padaku, Maisya…,” Riri mempertahankan cintanya. Ia mencoba menggapai tangan Maisya. Maisya berdiri kaku tanpa mampu menyambut tangan itu.
Diam. Hanya jawaban bisu yang ia dapat. Tubuh kurusnya merengkuh. Menahan segenggam prahara. Dua insan di tengah malam dan gelap, melayang ke alam pikiran masing–masing.
****
Sejak pertama ketemu tiga tahun silam di sebuah pameran foto, Riri telah menaruh hati pada Maisya. Ia mengenalnya dari sebuah deskripsi foto Gedung Tua yang mencantumkan nama Maisya di akhir kalimat. Dari pameran itu juga Riri bertekad untuk bisa selalu dekat dengannya.
Kesempatan tak boleh disia–siakan. Setelah mendapatkan akun twiter Maisya, Riri langsung memfollownya. Segala aktivitas Maisya pun diikutinya, mulai dari haunting foto, pameran, dan acara. Hingga pada saat pelelangan foto yang diadakan suatu hotel di Jakarta. Riri memenangkan lelang foto karya Maisya.
“Mbak Maisya…!” Panggil seseorang.
“Sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana ya…?” Desis Maisya.
 “Namaku Riri.” Sambil mengajak bersalaman.
“Oh... Riri. Riri yang menang lelang foto itu, ya?” Maisya mengingat nama itu di ceruk ingatannya.
Begitulah awal mereka bersua. Memulai segala kisah indah mereka dengan kepercayaan-kepercayaan yang indah. Berbagi cerita masa lalu mereka. Berbagi binar-binar mata. Berbagi kesepian dan kerinduan di hari-hari berikutnya.
Kedai kopi telah mengaktifkan magnet romansa di antara mereka dengan sendirinya, hingga pada akhirnya mereka sepakat mengkuduskan hubungan pertemanan itu atas nama cinta. Ya, Riri berhasil merebut hati Maisya.

***

Lima bulan lumayan memberikan banyak pemahaman-pemahaman bagi hubungan keduanya. Terlalu banyak gambar-gambar hasil jepretan kamera Maisya yang telah mengkuduskan setiap moment keindahan mereka, bukan berarti bisa membuat Riri merasa lebih nyaman. Maisya yang cantik dan berbakat, tentu saja disukai banyak pria manapun, semua hal memikat yang dilakukan gadis itu mampu membuat Riri semakin tak bisa melepaskan diri dari gadis itu. Gadis itu memang pantas dikagumi.
Entah berapa banyak acara yang sudah mereka kunjungi bersama. Entah berapa moment indah sudah mereka rangkai tanpa letih. Kemudian saling bersepakat untuk menjadikan dunia sebagai milik mereka berdua.
 Kriiinggg…
Suara bel rumah berdering. Seorang wanita memakai gaun organza dengan sepatu hak tinggi itu kelihatan begitu anggun, smart, dan menonjolkan kecantikan yang sebenarnya. Riri terkesiap melihat penampilan Maisya kali ini. Maklum, Maisya tak pernah memakai gaun, ia lebih sering memakai celana jeans dan kaos oblong dalam kesehariannya.
“Hei, kau cantik sekali, Maisya…,”
Maisya tersenyum anggun, “Thanks…,”
Dalam perbatasan senja itu, Honda CRV Hitam Riri menyusuri kota. Cahaya jingganya memantul di kaca–kaca dari sela-sela gedung pencakar langit yang menjulang. Membiaskan warna yang indah. Seindah hati Riri yang berahsil membawa Maisya di sampingnya dalam date special-nya kali ini.
Jalanan di Jakarta sore itu penuh sesak. Matahari telah tenggelam sempurna, lampu–lampu kota menggantikan jejak bulan di Tranz Hotel and Resorts. Sebuah diafragma yang cukup romantis bagi dua hati itu.
“Beneran kita dinner di sini?” Tanya Maisya menyakinkan
“Yupz.”
Maisya tertegun begitu sampai di lobby hotel. Beberapa lukisan terpajang rapih. Publikasi lukisan melalui publisitas umum yang cerdas. Maisya kelihatan begitu terpukau melihat view pameran spontan itu. Dahinya berkerut beberapa saat sampai ia mendekati sebuah kanvas, merabanya dengan lembut. Gerak-gerik itu membuat Riri terkagum-kagum.
“Kenapa?”
“A… aku mengenal…,”
Tak ada kalimat lagi yang diucapkan Maisya begitu ia membaca nama pelukis di sudut bawah kanvas itu, ‘Roy’. Wajahnya berubah seketika dengan tatapan nanar. Riri yang memperhatikannya sejak tadi mendadak ikut tak enak hati.
Riri masih ingat soal nama itu, nama yang sempat diucapkan oleh Maisya saat mereka memperkenalkan jati diri mereka masing-masing. Nama seorang pelukis, mantan cinta pertama Maisya yang begitu kudus. Terbukti Maisya masih saja tersenyum dengan binar matanya yang bening setiap ia mengenang nama itu. Ah, itu sangat cukup menjadi alasan kecemburuan Riri.
Seorang pelayan dengan ramah menyambut, seolah sudah tahu apa yang diinginkan Riri Pelayan itu langsung mempersilakannya duduk di meja No 9. Angka kesukaannya Maisya.
“Aku sengaja pesan meja ini dua minggu yang lalu...,” ungkap Riri setelah berhasil menggandeng tangan Maisya menuju meja no 9 itu, membebaskan keterpukauan Maisya terhadap sebuah lukisan tadi.
“Oh, ya?”
“Angka kesukaanmu, kan?” Jawab Riri penuh yakin.
Maisya hanya tersenyum simpul menandakan kalau dia senang. Mata menyisir sekeliling ruangan.
Malam ini begitu Romatis. Diiring biola yang mengalun merdu. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Namun ada hal yang mengganggu Riri, sesekali Maisya tak memfokusinya. Kelihatannya ia tengah mencari sesuatu. Dan sikap itu kontan membuat Riri cemburu dalam diam.
“Maisya?!” seru seorang pria berambut gondrong yang diikat ke belakang. Pria itu kelihatan kelimis dan rapih dengan alis tebal dan hidungnya yang mancung.
Riri yang sama sekali tak mengenal pria itu, ia hanya mengawasinya setelah setengah tekejut atas kedatangannya. Sementara kedatangan pria itu lumayan membuat perubahan pada paras Maisya.
“Ri… Rio?!” desisnya.
Dan kata itu seperti godam yang telak menghantam dada Riri. Romannya langsung berubah, dan terus berubah ketika melihat wajah Maisya bersemu merah dalam senyuman canggungnya pada pria itu. Riri merasa kedatangan pria itu telah mengakhiri malam romansanya.
“Aku membuka pameran disini, sedang penggalangan dana untuk bencana alam di…,”
“Hmm… hai, salam kenal! Namaku Riri, pacarnya…,” sela Riri tiba-tiba sebelum Rio mengakhiri kalimatnya.
Pria itu mendadak tak enak hati dan langsung menyalami Riri, sementara Maisya mendadak salah tingkah sendiri.
“Rio, selamat datang pada pameran lukisanku…,”
“Aku hanya mengajaknya makan malam disini. Bahkan tidak tahu sama sekali kalau disini ada pameran lukisanmu…,” tandas Riri dengan wajah tenang.
Kalimat itu kontan membuat Maisya dan Rio bungkam. Wajah keduanya memerah, memerah karena marah atau entah apa. Yang jelas sikap Riri membuat keduanya tak berkutik sama sekali. Terlebih Rio yang merasa dirinya mengganggu romantisme keduanya.
 “Aku pamit dulu, ya… maaf jika kehadiranku meng…,”
“Oh, tidak sama sekali, Roy… kami senang berjumpa denganmu. Oh ya, apakah lukisan yang itu diambil dari hasil jepretanku saat kita ke pulau Nias? Mm… aku hanya ingin tau…,” ujar Maisya sambil menunjuk lukisan yang sempat disentuhnya tadi.
“Oh ya. Tadinya aku ingin mempersiapkannya untuk kolaborasi pameran fotografimu dalam tema yang pernah kita bicarakan dulu, hanya saja aku kehilangan kontakmu semenjak telepon genggamku kecopetan.”
Maisya tertunduk, ia mencoba mengembangkan sisa senyumnya. Ini membuat Riri semakin geram. Tapi Riri pun tak dapat berbuat apa-apa.
“Aku memang sengaja tak menghubungimu lagi. Maaf…, ya… kita belum menyelesaikan project itu, padahal persiapannya sudah lumayan matang…,”
Ada pendar pengharapan di mata keduanya yang tertangkap oleh mata Riri. Tapi Riri sama sekali tak dapat berbuat sesuatu bahkan ketika Maisya menyodorkan kartu namanya pada Rio. Sebetulnya Rio tak enak hati menerima kartu nama itu, tapi ia pun tak dapat menolak pemberian Maisya.
“Hmm… aku sering membeli buku–buku katalog foto interiormu. Dan aku tertarik.” Ucap Rio memecah suasana.
“Ya, itulah pekerjaanku sekarang. Lebih sering melihat sesuatu dari sebuah frame. Hehehe...” Maisya menjawab dengan tawa renyah. Dan itu mebuat Riri tak mambu menahan keringat dinginnya yang beberapa kali diusapnya. Padahal ruangan pameran full AC.
“Aku mau bikin profil galeryku. Gimana kalau kamu yang memotretnya. Aku suka jepretanmu, karena setiap foto yang kamu hasilkan selalu memiliki cerita.”
Mendengar itu Maisya dan Riri kaget.
Pertemuan malam itu ternyata mampu membuat segalanya berubah. Hingga project itu benar-benar terkonsep dengan baik. Bukan hanya kerjasama pameran saja yang akan mereka kerjakan berdua, Maisya kelihatan begitu gembira membantu desain interior galeri Rio yang akan dijadikan area pameran kolaborasi mereka berdua. Tentu saja butuh banyak waktu berdekatan untuk membiarkan keduanya saling bertukar ide dan mempersiapkan hal lainnya.
Story adalah judul dari tema yang mereka pilih. Keduanya memang kerap bersiteru saat mempersiapkan konsep itu, hingga perpisahan terjadi sebelum mereka mengakhiri impian mereka. Kini, dalam pertemuan yang baru saja terjadi, Maisya dan Rio seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka sangat obsesif untuk memaksimalkan kreatifitas di bidangnya masing-masing. Berbeda dengan Riri yang kini hanya sebatas penikmat saja. Tentu saja ia memiliki mindset dan kemungkina-kemungkinan yang berbeda atas perjumpaan Maisya dan Rio.
“Ini akan menjadi pameran yang besar sepanjang masa, Maisya.”
“Semoga. Karena aku sudah lama menginginkan pameran dengan konsep seperti ini. Story.”
Maisya mengalihkan perhatiannya ke sebuah frame yang dipajang di sudut workshop lukis. Berantakan, tapi masih terlihat tegas bahwa pemiliknya seorang yang mencintai kebersihan. Lukisan seluet wajah. Wajah Maisya.
“Itu… kulukis ketika kita baru saja putus...,” gumam Rio, membuyarkan lamunan Maisya.
“Wow, indah…,”
Rio tersenyum. Membuang tatapannnya ke sudut lain, seolah tak ingin mengungkit kenangan lama mereka.
Undangan dan brosur sudah tersebar. Maisya tenggelam dalam persiapan pameran. Riri berusaha menelponnya, namun berkali–kali gagal. Riri semakin kesal dengan sikap Maisya, kecurigaan di antara ribuan rasa cemburu pada Maisya tumbuh sedemikian rupa. Dan ia lah orang pertama yang sangat membenci pameran itu. Hingga pertengkaran pun terjadi di antara mereka sebelum pameran itu.
“Aku tidak bisa menggagalkan rencana ini, ini impian kami, Ri…,”
“Impian? Lebih penting manakah dengan pertunangan kita?”
“Apa hubungannya dengan pertunangan kita? Ini masalah pekerjaanku dengan privacy-ku. Aku tidak suka kau mencampuradukan permasalahan ini…, aku mohon… aku harus berkemas dan datang dalam acara kami!”
“Kamu egois! Baiklah jika kamu lebih mementingkan obsesimu ketimbang hubungan kita…,”
“Maksudmu?”
“Kita putus…,”
  Pameran itu berlangsung dengan sangat manis, tentu saja tanpa kehadiran Riri yang baru saja memutuskan Maisya. Sebuah pameran yang gagal dan penuh kepiluan. Maisya tak menyangka, puncak impian yang diimpikannya harus ternoda karena berakhirnya hubungan cinta kasih mereka sebelum acara itu berlangsung.
Pengunjung mulai sepi. Maisya terduduk sambil menahan wajah merahnya di bawah figura sketsa wajahnya. Hingga Rio mendekatinya dengan penuh tanya.
“Kami putus. Ia cemburu dengan proyek ini…,” ungkap Maisya sambil berlinang air mata.
Rio menghela napas beratnya. Bukannya menghibur Maisya, ia malah bergegas pergi meninggalkan Maisya dengan wajah yang penuh dengan runtutan airmata. Maisya terpojok sepi di sudut hatinya yang buntu. Padahal ia hanya sedang mewujudkan sisa impiannya dulu. Tapi ia pun tak mampu melakukan apapun tentang keputusan Riri.

****
Riri masih mondar-mandir di balkonnya. Sesekali memejamkan matanya sambil mereguk red wine di tangan kanannya, sambil membayangkan wajah sendu Maisya saat ia memutuskan hubungan cinta mereka.
Ah Maisya, ini sama sekali di luar dugaanku. Padahal aku masih menggilaimu. Tapi pameran itu seperti sebuah pukulan telak untukku…,
“Aku tahu kamu cemburu padaku. Dulu memang aku jatuh cinta padanya. Tapi itu dulu... sebelum aku punya istri dan anak…,” Ucap Rio yang tiba-tiba datang dan berdiri tegap di halaman depan dengan tangan yang disakukan, ia duduk di atas kap mobilnya.
Riri terkejut.
“Kau? Sejak kapan ada disitu?”
Rio tersenyum, “Tak ada alasan lagi aku mencintainya. Aku hanya ingin mewujudkan impiannya. Membuat pameran bersama. Itu saja... Dan kamu harus tahu, Maisya masih mencintaimu. Ia selalu bercerita dan membanggakanmu.” Rio mencoba menjalaskan.
Riri tercekat. Ia menaruh gelas anggurnya di meja santai yang teronggok di balkonnya.
“Tunggu…!” katanya. Lalu segera menuruni tangga.
Keduanya bertemu muka di halaman rumah itu. Dua pria yang pernah ada di hati Maisya. Rio tersenyum dan menepuk pundak Riri yang masih syok atas pernyataan Rio. Maisya tak pernah bercerita jika Rio sudah menikah dan bahkan sudah memiliki anak.
“Kamu tidak usah meminta maaf padaku. Minta maaflah pada Maisya dan kembalilah padanya. Aku harap kamu bisa menjaganya...,”
“Ah… bodoh sekali…, thanks, bro… ini berarti untukku… aku akan menyusulnya…,” ucap Riri.
“Naiklah ke mobilku. Aku akan mengantarmu menemuinmya…,”

***
Malam masih bergulir seperti malam-malam yang lalu. Juga seperti romansa milik Riri dan Maisya yang kini kembali terlukis dalam galeri pameran ‘Story’ yang kini sudah mulai sunyi. Hanya dua hati itu yang tak lagi merasa sunyi setelah kedua tangan mereka saling bertaut, lalu berpeluk, lalu khusyuk dalam sebuah mabuk. Mabuk asmara yang hampir saja takluk.
Story malam itu pada akhirnya menjadi story yang jauh lebih indah dari pegelaran lukisan dan fotografi Maisya dan Rio malam itu.
Never say good bye for you, dear…,” bisik Riri dalam pelukannya.

TAMAT
****










Sebuah akhiran tidaklah menutup segala kemungkinan. Karena biasanya, akhiran justeru awal dari sebuah lembaran baru. Never ending…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar