Malam yang buntu.
Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan dari
pohon Akasia di
penghujung jalan. Sang rembulan enggan hadir malam ini, begitupun dengan para bintang
yang berkelip malu-malu, awan mendung yang berarak membalutkan selimut dingin
pada semesta. Gelap, juga hening. Sejalan dengan keheningan sepasang insan yang
sedari awal saling berdialog dengan tatapan matanya yang terasa sepi.
Baca Selanjutnya
Baca Selanjutnya
“Kamu tak pernah mencintaiku,” Suara Riri memecehkan
keheningan malam tiba-tiba.
“Di benakmu masih ada sisa coretan-coretan kenangan
yang melukis sosok-sosok masa lalumu yang enggan kamu hapus.” Lanjut Riri lagi
dengan suara gemetar.
Ada rasa sesak di dalam dada mereka yang bergelayut
dan saling kalut. Semuanya membingkai rasa yang terangkum di pucuk-pucuk
pertikaian hati. Aku memahaminya dari sini.
“Aku tak pernah memaksamu masuk ataupun keluar dari relung hati ini,”
ungkap Maisya lirih, sembari memberanikan diri menatap mata Riri yang sayu,
penuh luka, penuh harap. “Tapi aku bangga mengenal pejuang cintamu.”
tandas Maisya lagi.
Maisya tersenyum selaksa diiris perih karena telah menggores pilihan yang
tak bisa diulang kembali.
“Percuma…,”
Kata-kata itu semakin membuatnya sakit dan tersudut
dalam kesesekan dada. Ia terluka.
Waktu
seakan terhenti menanti percakapan dua insan yang saling kukuh pada prinsipnya
masing–masing. Riri tak mau meninggalkan Maisya. Namun ia juga tak ingin Maisya
membawa bayangan masa lalunya.
Maisya
tak mampu memungkiri bahwa segenggam cintanya masih tertinggal di sana dan
sekarang sedang menyemai rindu.
“Maaf,
tapi telah aku tutup lembaran itu. Dan kini hanya ada satu tinta dan selembar
kertas, sedianya untuk melukismu. Kembalilah padaku, Maisya…,” Riri
mempertahankan cintanya. Ia mencoba menggapai tangan Maisya. Maisya berdiri
kaku tanpa mampu menyambut tangan itu.
Diam.
Hanya jawaban bisu yang ia dapat. Tubuh kurusnya merengkuh. Menahan segenggam
prahara. Dua insan di tengah malam dan gelap, melayang ke alam pikiran masing–masing.
****
Sejak
pertama ketemu tiga tahun silam di sebuah pameran foto, Riri telah menaruh hati
pada Maisya. Ia mengenalnya dari sebuah deskripsi foto Gedung Tua yang
mencantumkan nama Maisya di akhir kalimat. Dari pameran itu juga Riri bertekad
untuk bisa selalu dekat dengannya.
Kesempatan
tak boleh disia–siakan. Setelah mendapatkan akun twiter Maisya, Riri langsung
memfollownya. Segala aktivitas Maisya pun diikutinya, mulai dari haunting foto, pameran, dan acara.
Hingga pada saat pelelangan foto yang diadakan suatu hotel di Jakarta. Riri
memenangkan lelang foto karya Maisya.
“Mbak
Maisya…!” Panggil seseorang.
“Sepertinya
aku pernah melihatmu, tapi dimana ya…?” Desis Maisya.
“Namaku Riri.” Sambil mengajak bersalaman.
“Oh...
Riri. Riri yang menang lelang foto itu, ya?” Maisya mengingat nama itu di ceruk
ingatannya.
Begitulah
awal mereka bersua. Memulai segala kisah indah mereka dengan
kepercayaan-kepercayaan yang indah. Berbagi cerita masa lalu mereka. Berbagi
binar-binar mata. Berbagi kesepian dan kerinduan di hari-hari berikutnya.
Kedai
kopi telah mengaktifkan magnet romansa di antara mereka dengan sendirinya,
hingga pada akhirnya mereka sepakat mengkuduskan hubungan pertemanan itu atas
nama cinta. Ya, Riri berhasil merebut hati Maisya.
***
Lima
bulan lumayan memberikan banyak pemahaman-pemahaman bagi hubungan keduanya. Terlalu
banyak gambar-gambar hasil jepretan kamera Maisya yang telah mengkuduskan
setiap moment keindahan mereka, bukan berarti bisa membuat Riri merasa lebih
nyaman. Maisya yang cantik dan berbakat, tentu saja disukai banyak pria
manapun, semua hal memikat yang dilakukan gadis itu mampu membuat Riri semakin
tak bisa melepaskan diri dari gadis itu. Gadis itu memang pantas dikagumi.
Entah
berapa banyak acara yang sudah mereka kunjungi bersama. Entah berapa moment indah sudah mereka rangkai tanpa
letih. Kemudian saling bersepakat untuk menjadikan dunia sebagai milik mereka
berdua.
Kriiinggg…
Suara bel rumah berdering. Seorang wanita memakai gaun organza dengan sepatu hak tinggi itu kelihatan
begitu anggun, smart, dan menonjolkan
kecantikan yang sebenarnya. Riri terkesiap melihat penampilan Maisya kali ini.
Maklum, Maisya tak pernah memakai gaun, ia lebih sering memakai celana jeans dan kaos oblong dalam
kesehariannya.
“Hei, kau cantik sekali, Maisya…,”
Maisya tersenyum anggun, “Thanks…,”
Dalam
perbatasan senja itu, Honda CRV Hitam
Riri menyusuri kota. Cahaya jingganya memantul di kaca–kaca dari sela-sela
gedung pencakar langit yang menjulang. Membiaskan warna yang indah. Seindah
hati Riri yang berahsil membawa Maisya di sampingnya dalam date special-nya kali ini.
Jalanan
di Jakarta sore itu penuh sesak. Matahari telah tenggelam sempurna, lampu–lampu
kota menggantikan jejak bulan di Tranz Hotel and Resorts. Sebuah
diafragma yang cukup romantis bagi dua hati itu.
“Beneran kita dinner
di sini?” Tanya Maisya menyakinkan
“Yupz.”
Maisya tertegun begitu sampai di lobby hotel. Beberapa lukisan terpajang rapih. Publikasi lukisan
melalui publisitas umum yang cerdas. Maisya kelihatan begitu terpukau melihat view pameran spontan itu. Dahinya
berkerut beberapa saat sampai ia mendekati sebuah kanvas, merabanya dengan
lembut. Gerak-gerik itu membuat Riri terkagum-kagum.
“Kenapa?”
“A… aku mengenal…,”
Tak ada kalimat lagi yang diucapkan Maisya begitu ia membaca
nama pelukis di sudut bawah kanvas itu, ‘Roy’. Wajahnya berubah seketika dengan
tatapan nanar. Riri yang memperhatikannya sejak tadi mendadak ikut tak enak
hati.
Riri masih ingat soal nama itu, nama yang sempat diucapkan
oleh Maisya saat mereka memperkenalkan jati diri mereka masing-masing. Nama
seorang pelukis, mantan cinta pertama Maisya yang begitu kudus. Terbukti Maisya
masih saja tersenyum dengan binar matanya yang bening setiap ia mengenang nama
itu. Ah, itu sangat cukup menjadi alasan kecemburuan Riri.
Seorang pelayan dengan ramah menyambut, seolah sudah tahu
apa yang diinginkan Riri Pelayan itu langsung mempersilakannya duduk di meja No
9. Angka kesukaannya Maisya.
“Aku sengaja pesan meja ini dua minggu yang lalu...,” ungkap
Riri setelah berhasil menggandeng tangan Maisya menuju meja no 9 itu,
membebaskan keterpukauan Maisya terhadap sebuah lukisan tadi.
“Oh, ya?”
“Angka kesukaanmu, kan?” Jawab Riri penuh yakin.
Maisya hanya tersenyum simpul menandakan kalau dia senang.
Mata menyisir sekeliling ruangan.
Malam ini begitu Romatis. Diiring biola yang mengalun merdu.
Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Namun ada hal yang
mengganggu Riri, sesekali Maisya tak memfokusinya. Kelihatannya ia tengah
mencari sesuatu. Dan sikap itu kontan membuat Riri cemburu dalam diam.
“Maisya?!” seru seorang pria berambut gondrong yang diikat
ke belakang. Pria itu kelihatan kelimis dan rapih dengan alis tebal dan
hidungnya yang mancung.
Riri yang sama sekali tak mengenal pria itu, ia hanya
mengawasinya setelah setengah tekejut atas kedatangannya. Sementara kedatangan
pria itu lumayan membuat perubahan pada paras Maisya.
“Ri… Rio?!” desisnya.
Dan kata itu seperti godam yang telak menghantam dada Riri.
Romannya langsung berubah, dan terus berubah ketika melihat wajah Maisya
bersemu merah dalam senyuman canggungnya pada pria itu. Riri merasa kedatangan
pria itu telah mengakhiri malam romansanya.
“Aku membuka pameran disini, sedang penggalangan dana untuk
bencana alam di…,”
“Hmm… hai, salam kenal! Namaku Riri, pacarnya…,” sela Riri
tiba-tiba sebelum Rio mengakhiri kalimatnya.
Pria itu mendadak tak enak hati dan langsung menyalami Riri,
sementara Maisya mendadak salah tingkah sendiri.
“Rio, selamat datang pada pameran lukisanku…,”
“Aku hanya mengajaknya makan malam disini. Bahkan tidak tahu
sama sekali kalau disini ada pameran lukisanmu…,” tandas Riri dengan wajah
tenang.
Kalimat itu kontan membuat Maisya dan Rio bungkam. Wajah
keduanya memerah, memerah karena marah atau entah apa. Yang jelas sikap Riri
membuat keduanya tak berkutik sama sekali. Terlebih Rio yang merasa dirinya
mengganggu romantisme keduanya.
“Aku pamit dulu, ya…
maaf jika kehadiranku meng…,”
“Oh, tidak sama sekali, Roy… kami senang berjumpa denganmu.
Oh ya, apakah lukisan yang itu diambil dari hasil jepretanku saat kita ke pulau
Nias? Mm… aku hanya ingin tau…,” ujar Maisya sambil menunjuk lukisan yang
sempat disentuhnya tadi.
“Oh ya. Tadinya aku ingin mempersiapkannya untuk kolaborasi
pameran fotografimu dalam tema yang pernah kita bicarakan dulu, hanya saja aku
kehilangan kontakmu semenjak telepon genggamku kecopetan.”
Maisya tertunduk, ia mencoba mengembangkan sisa senyumnya.
Ini membuat Riri semakin geram. Tapi Riri pun tak dapat berbuat apa-apa.
“Aku memang sengaja tak menghubungimu lagi. Maaf…, ya… kita
belum menyelesaikan project itu,
padahal persiapannya sudah lumayan matang…,”
Ada pendar pengharapan di mata keduanya yang tertangkap oleh
mata Riri. Tapi Riri sama sekali tak dapat berbuat sesuatu bahkan ketika Maisya
menyodorkan kartu namanya pada Rio. Sebetulnya Rio tak enak hati menerima kartu
nama itu, tapi ia pun tak dapat menolak pemberian Maisya.
“Hmm… aku sering membeli buku–buku katalog foto interiormu.
Dan aku tertarik.” Ucap Rio memecah suasana.
“Ya, itulah pekerjaanku sekarang. Lebih sering melihat
sesuatu dari sebuah frame. Hehehe...”
Maisya menjawab dengan tawa renyah. Dan itu mebuat Riri tak mambu menahan
keringat dinginnya yang beberapa kali diusapnya. Padahal ruangan pameran full AC.
“Aku mau bikin profil galeryku. Gimana kalau kamu yang
memotretnya. Aku suka jepretanmu, karena setiap foto yang kamu hasilkan selalu
memiliki cerita.”
Mendengar itu Maisya dan Riri kaget.
Pertemuan malam itu ternyata mampu membuat segalanya
berubah. Hingga project itu
benar-benar terkonsep dengan baik. Bukan hanya kerjasama pameran saja yang akan
mereka kerjakan berdua, Maisya kelihatan begitu gembira membantu desain
interior galeri Rio yang akan dijadikan area pameran kolaborasi mereka berdua.
Tentu saja butuh banyak waktu berdekatan untuk membiarkan keduanya saling
bertukar ide dan mempersiapkan hal lainnya.
Story adalah judul dari tema yang mereka pilih. Keduanya
memang kerap bersiteru saat mempersiapkan konsep itu, hingga perpisahan terjadi
sebelum mereka mengakhiri impian mereka. Kini, dalam pertemuan yang baru saja
terjadi, Maisya dan Rio seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka
sangat obsesif untuk memaksimalkan kreatifitas di bidangnya masing-masing.
Berbeda dengan Riri yang kini hanya sebatas penikmat saja. Tentu saja ia
memiliki mindset dan
kemungkina-kemungkinan yang berbeda atas perjumpaan Maisya dan Rio.
“Ini akan menjadi pameran yang besar sepanjang masa,
Maisya.”
“Semoga. Karena aku sudah lama menginginkan pameran dengan
konsep seperti ini. Story.”
Maisya mengalihkan perhatiannya ke sebuah frame yang dipajang di sudut workshop lukis. Berantakan, tapi masih
terlihat tegas bahwa pemiliknya seorang yang mencintai kebersihan. Lukisan
seluet wajah. Wajah Maisya.
“Itu… kulukis ketika kita baru saja putus...,” gumam Rio,
membuyarkan lamunan Maisya.
“Wow, indah…,”
Rio tersenyum. Membuang tatapannnya ke sudut lain, seolah
tak ingin mengungkit kenangan lama mereka.
Undangan dan brosur sudah tersebar. Maisya tenggelam dalam
persiapan pameran. Riri berusaha menelponnya, namun berkali–kali gagal. Riri
semakin kesal dengan sikap Maisya, kecurigaan di antara ribuan rasa cemburu
pada Maisya tumbuh sedemikian rupa. Dan ia lah orang pertama yang sangat
membenci pameran itu. Hingga pertengkaran pun terjadi di antara mereka sebelum
pameran itu.
“Aku tidak bisa menggagalkan rencana ini, ini impian kami,
Ri…,”
“Impian? Lebih penting manakah dengan pertunangan kita?”
“Apa hubungannya dengan pertunangan kita? Ini masalah
pekerjaanku dengan privacy-ku. Aku
tidak suka kau mencampuradukan permasalahan ini…, aku mohon… aku harus berkemas
dan datang dalam acara kami!”
“Kamu egois! Baiklah jika kamu lebih mementingkan obsesimu
ketimbang hubungan kita…,”
“Maksudmu?”
“Kita putus…,”
Pameran itu
berlangsung dengan sangat manis, tentu saja tanpa kehadiran Riri yang baru saja
memutuskan Maisya. Sebuah pameran yang gagal dan penuh kepiluan. Maisya tak
menyangka, puncak impian yang diimpikannya harus ternoda karena berakhirnya
hubungan cinta kasih mereka sebelum acara itu berlangsung.
Pengunjung mulai sepi. Maisya terduduk sambil menahan wajah
merahnya di bawah figura sketsa wajahnya. Hingga Rio mendekatinya dengan penuh
tanya.
“Kami putus. Ia cemburu dengan proyek ini…,” ungkap Maisya
sambil berlinang air mata.
Rio menghela napas beratnya. Bukannya menghibur Maisya, ia
malah bergegas pergi meninggalkan Maisya dengan wajah yang penuh dengan
runtutan airmata. Maisya terpojok sepi di sudut hatinya yang buntu. Padahal ia
hanya sedang mewujudkan sisa impiannya dulu. Tapi ia pun tak mampu melakukan
apapun tentang keputusan Riri.
****
Riri masih mondar-mandir di balkonnya. Sesekali memejamkan
matanya sambil mereguk red wine di
tangan kanannya, sambil membayangkan wajah sendu Maisya saat ia memutuskan
hubungan cinta mereka.
Ah Maisya, ini sama sekali di luar
dugaanku. Padahal aku masih menggilaimu. Tapi pameran itu seperti sebuah
pukulan telak untukku…,
“Aku tahu kamu cemburu padaku. Dulu memang aku jatuh cinta
padanya. Tapi itu dulu... sebelum aku punya istri dan anak…,” Ucap Rio yang
tiba-tiba datang dan berdiri tegap di halaman depan dengan tangan yang
disakukan, ia duduk di atas kap mobilnya.
Riri terkejut.
“Kau? Sejak kapan ada disitu?”
Rio tersenyum, “Tak ada alasan lagi aku mencintainya. Aku
hanya ingin mewujudkan impiannya. Membuat pameran bersama. Itu saja... Dan kamu
harus tahu, Maisya masih mencintaimu. Ia selalu bercerita dan membanggakanmu.”
Rio mencoba menjalaskan.
Riri tercekat. Ia menaruh gelas anggurnya di meja santai
yang teronggok di balkonnya.
“Tunggu…!” katanya. Lalu segera menuruni tangga.
Keduanya bertemu muka di halaman rumah itu. Dua pria yang
pernah ada di hati Maisya. Rio tersenyum dan menepuk pundak Riri yang masih syok atas pernyataan Rio. Maisya tak
pernah bercerita jika Rio sudah menikah dan bahkan sudah memiliki anak.
“Kamu tidak usah meminta maaf padaku. Minta maaflah pada Maisya
dan kembalilah padanya. Aku harap kamu bisa menjaganya...,”
“Ah… bodoh sekali…, thanks,
bro… ini berarti untukku… aku akan
menyusulnya…,” ucap Riri.
“Naiklah ke mobilku. Aku akan mengantarmu menemuinmya…,”
***
Malam
masih bergulir seperti malam-malam yang lalu. Juga seperti romansa milik Riri
dan Maisya yang kini kembali terlukis dalam galeri pameran ‘Story’ yang kini
sudah mulai sunyi. Hanya dua hati itu yang tak lagi merasa sunyi setelah kedua
tangan mereka saling bertaut, lalu berpeluk, lalu khusyuk dalam sebuah mabuk.
Mabuk asmara yang hampir saja takluk.
Story
malam itu pada akhirnya menjadi story
yang jauh lebih indah dari pegelaran lukisan dan fotografi Maisya dan Rio malam
itu.
“Never say good bye for you, dear…,”
bisik Riri dalam pelukannya.
TAMAT
****
Sebuah
akhiran tidaklah menutup segala kemungkinan. Karena biasanya, akhiran justeru
awal dari sebuah lembaran baru. Never
ending…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar